GAZA | BARATNEWS.CO – Pangeran Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman, mengkritik keras serangan militer Israel di Gaza, menyebutnya sebagai “genosida” terhadap warga Palestina. Pernyataan tajam ini disampaikan dalam sebuah KTT yang dihadiri oleh pemimpin-pemimpin Muslim dan Arab, yang membahas eskalasi kekerasan antara Israel dan Hamas, serta dampaknya terhadap kawasan Timur Tengah.
Dalam pidatonya, Pangeran Mohammed tidak hanya mengecam serangan Israel di Gaza, tetapi juga menyuarakan keprihatinannya terkait serangan Israel terhadap Lebanon dan Iran. Ia menegaskan bahwa Israel harus segera menghentikan agresinya, serta memperingatkan agar tidak menyerang wilayah Iran, yang dapat memicu ketegangan lebih lanjut di kawasan yang sudah rawan konflik.
Kecaman Terhadap Kegagalan Internasional
Kecaman serupa juga dilontarkan oleh Menteri Luar Negeri Saudi, Pangeran Faisal bin Farhan Al-Saud, yang menyebut kegagalan komunitas internasional untuk menghentikan perang di Gaza sebagai masalah utama.
Ia menuduh Israel menyebabkan kelaparan di Gaza dan menuntut agar dunia internasional lebih proaktif dalam mengakhiri kekerasan yang terus berlanjut. Pangeran Faisal juga menekankan perlunya penarikan Israel dari Tepi Barat dan Gaza sebagai langkah untuk mencapai perdamaian yang lebih stabil.
Dampak Kemanusiaan dan Serangan terhadap Fasilitas PBB
Perang yang dimulai pada 7 Oktober 2023 ini telah menelan korban lebih dari 43.400 jiwa di Gaza, dengan sebagian besar korban adalah perempuan dan anak-anak, menurut laporan dari Kantor Hak Asasi Manusia PBB. Selain itu, serangan terhadap fasilitas PBB di Gaza telah memperburuk kondisi kemanusiaan, yang semakin mengundang kecaman dari berbagai negara dan organisasi internasional.
Israel juga tengah menghadapi kritik internasional terkait pengesahan undang-undang yang melarang Badan Pengungsi Palestina PBB (UNRWA) beroperasi di wilayah yang dikuasai Israel dan Yerusalem Timur. Langkah ini dianggap dapat menghambat bantuan kemanusiaan ke Gaza, dan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Inggris menyatakan kekhawatiran serius terhadap dampaknya.
Kebijakan AS dan Kembalinya Trump
Sementara itu, para pemimpin Teluk, termasuk Saudi, menyuarakan pandangan mereka tentang kemungkinan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Meski kebijakan Trump terkait Timur Tengah sering kali kontroversial, banyak pemimpin Arab, termasuk di Saudi, memandang Trump sebagai sosok yang dapat membawa stabilitas melalui pengaruhnya yang kuat, khususnya dalam perundingan perdamaian.
Trump sebelumnya berhasil merundingkan Abraham Accords pada 2020, yang membuka jalan bagi hubungan diplomatik antara Israel dan beberapa negara Arab, seperti UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan. Namun, kebijakan-kebijakan kontroversial Trump, seperti pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan pengesahan aneksasi Dataran Tinggi Golan, telah memicu protes keras dari negara-negara Muslim.
Penarikan Israel dan Jalan Menuju Perdamaian
KTT tersebut menggarisbawahi pentingnya penarikan Israel dari wilayah yang diduduki dan mengakhiri agresi di Gaza sebagai langkah utama untuk meredakan ketegangan. Negara-negara Muslim dan Arab berharap, dengan adanya dorongan diplomatik dari para pemimpin besar, termasuk potensi peran Trump, perdamaian yang lebih berkelanjutan dapat tercapai di kawasan ini.
Situasi di Gaza dan Timur Tengah tetap penuh ketidakpastian, namun suara-suara dari dunia Arab semakin kuat menyerukan untuk mengakhiri kekerasan dan mencari solusi yang lebih permanen demi stabilitas kawasan.
Discussion about this post