BARATNEWS.CO – Malam itu, Minggu (6/9/2025), jarum jam hampir menyentuh pukul 23.45 WIB. Irma (25) baru saja pulang kerja dan melintas sendirian di jalan lintas Desa Pasi Jambu menuju Desa Alue Tampak, Kecamatan Kaway XVI, Aceh Barat.
Jalan itu sepi, gelap gulita, tanpa satu pun lampu penerangan berdiri di pinggirnya. Padahal, menurut Irma, lintasan umum di desa tersebut, tak jauh dari pusat kota Meulaboh, yang seharusnya setiap saat ada penerang jalan.
Irma menceritakan, awalnya dia tak menyangka jalur sunyi itu bisa berubah menjadi mimpi buruk. Dari arah belakang, dua pria berboncengan dengan motor Supra mendekat—suasana berubah mencekam.
Dalam sekejap, salah satu dari pria itu menarik tas yang tergantung di pundak sebelah kanannyanya. Irma berteriak sekuat tenaga. Suaranya memecah malam, membuat para pelaku kalang kabut melarikan diri.
“Untung bisa saya pertahankan, sehingga mereka gagal membawa kabur,” kata Irma, saat ditemui Baratnews.co di rumahnya Desa Gampong Mesjid, Kaway XVI, Minggu (7/8/2025).
Di titik itu, ketakutan bergelayut. Irma menghentikan motornya di dekat jembatan Alue Tampak, satu-satunya lokasi dengan penerangan seadanya, sekadar untuk menghela napas, menenangkan diri.
Dalam penjelasannya, kejadian tadi bukan hanya membuat nyalinya makin ciut akibat aksi jambret—melainkan kenyataan jalan gelap tersebut sudah lama menjadi cerita horor bagi warga yang melintas.
Bukan Kasus Pertama
Irma mengaku temannya juga pernah mengalami kejadian serupa di jalur tak jauh dari lokasi. Kecemasan ini ternyata bukan isapan jempol bagi Irma dan temannya.
Kata dia, beberapa warga mengaku akses jalan utama warga yang gelap tersebut menjadi titik rawan kriminal—ibarat membuka karpet merah bagi para pelaku kejahatan, jika dibiarkan.
“Jalannya gelap gulita tanpa lampu jalan. Ini sangat membahayakan,” keluhnya.
Pemerintah Kabupaten Aceh Barat diminta agar meninjau lokasi lintasan itu. Dia berharap, pemerintah punya program penerangan jalan umum yang sejatinya harus dilaksanakan, terutama di jalan Desa Pasi Jambu-Alue Tampak.
“Mengapa ruas strategis ini justru dibiarkan gelap? Apakah terbentur anggaran, atau sekadar luput dari prioritas saja?” tanya Irma. Bagi Irma, jika pemerintah memiliki jawaban, maka jangan dijadikan sekadar formalitas.
“Kami butuh tindakan nyata, agar setiap perjalanan malam tidak selalu dihantui rasa was-was. Dan ini bukan hanya soal kenyamanan, tapi juga keselamatan kami di jalan,” kata Irma.
Hingga kini, rasa takut masih membekas di benak korban, dan jalan gelap di Kaway XVI tetap menjadi saksi bisu—menunggu siapa lagi yang akan menjadi target berikutnya, jika tak segera ada perubahan. (*)
Discussion about this post