Oleh tim news Baratnews.co
Adasatu ironi akan terus membekas dalam sejarah bangsa Indonesia. Tak terlupakan, sama halnya dengan tahun 1998. Agustus tahun 2025 menjadi sejarah pilu dialami bangsa. Mengapa tidak, rakyat yang turun ke jalan untuk menyuarakan pendapat, tapi justru menjadi tragedi kehilangan nyawa.
Kalau membandingkan tahun 1998, masa di mana adanya demonstrasi menumbangkan rezim orde baru, sejarah membuktikan bahwa kita menyebutkan banyak mahasiswa dan masyarakat gugur di medan perang merebut keadilan. Sementara pada 2025, kita diingatkan nama Affan Kurniawan.
Pemuda pengemudi ojek online berjaket hijau tersebut dilindas kendaraan taktis Brimob di depan Gedung DPR. Padahal, Affan bukan salah satu dari peserta demonstran, tetapi kebetulan melewati jalur lintas yang dikerumuni demonstran.
Saat Affan ditabrak, mobil kendaraan taktis Brimob bukannya berhenti pada lindas pertama, malah lebih mengganas melaju kencang tanpa memikirkan nasib Affan.
Irama situasinya mirip, walau tak sama persis. Meski di tahun 1998 lebih parah, namun tak pelak 2025 menjadi tragedi kelam yang tak manusiawi, sehingga huru-hara terjadi di sejumlah lokasi akibat kendaraan taktis Brimob melindas pemuda pencari nafkah untuk keluarganya tewas.
Sejenak kita harus balik mengingat sejarah yang terjadi 27 tahun silam. Masa di mana mahasiswa dan rakyat marah karena harga melambung, krisis moneter meluluhlantakkan isi-isi dapur, dan pemerintahan orde baru tak lagi dipercaya.
Di 2025 amarah itu muncul kembali, bedanya kali ini dipicu oleh kebijakan kenaikan gaji dan tunjangan DPR RI—sebuah keputusan yang dianggap tidak masuk akal, di tengah rakyat masih berjibaku dengan harga pangan, bahan pokok, ongkos sekolah, dan cicilan yang menjerat.
Pada 1998 rakyat melihat aparat dan mahasiswa berhadap-hadapan dalam tensi politik besar yang mengubah arah negara. Tahun ini, tepat bulan kemerdekaan, rakyat justru dipaksa menelan ironi lain: para wakil rakyat berjoget di balkon Gedung DPR saat ribuan orang berteriak menuntut keadilan di luar pagar.
Joget itu terekam kamera, viral di media sosial, dan langsung jadi bensin yang menyulut api kemarahan massa. Tak terbendung, massa membentuk gelombang suara. Ayunan suaranya terdengar hingga ke luar negeri.
“DPR berjoget, rakyat berteriak.” Begitu komentar netizen yang ramai di jagat maya.
Beberapa nama anggota DPR disebut ikut berjoget bersama staf di balkon gedung parlemen. Walau sebagian berkilah hanya “melepas penat,” publik terlanjur menilai itu sebagai simbol arogansi. Ketika rakyat kepanasan di jalan, mereka menari-nari dengan irama musik dari pengeras suara.
Parahnya lagi sejarah mencatat, masa Reformasi 1998, tidak ada satupun pejabat yang berani berjoget saat mahasiswa merebut jalanan. Mereka memilih bersembunyi di balik barikade. Tetapi tahun ini justru menertawakan jeritan rakyat yang memohon kebijakan lebih tak manusiawi “menari di atas luka”.
Rerumputan, dedaunan, tumbuh-tumbuhan di sekitar wilayah gedung DPR menjadi saksi bisu bahwa lautan manusia menyuarakan aspirasinya berubah menjadi luka. Aparat berbenturan baku hantam dengan massa dan Affan Kurniawan tewas mengenaskan dilindas kendaraan taktis Brimob.
Pemuda berusia 21 tahun tersebut—bukan mahasiswa, bukan aktivis besar, melainkan pengemudi ojek online. Rekaman video memperlihatkan tubuhnya terseret, membuat massa yang sudah panas berubah jadi amukan raksasa. Massa sempat menyetop kendaraan milik Brimob itu, namun lolos kabur.
Polri sendiri sudah mengumumkan tujuh personel Brimob yang diduga terlibat, inisial Kompol CB, Aipda M, Bripka R, Briptu G, Bripda M, Bharaka Y, dan Bharaka G.
Mereka kini tengah diperiksa Propam. Tetapi bagi publik, itu tidak cukup. Affan bukan hanya korban, ia simbol bahwa negara gagal melindungi warganya. “Rapatkan barisan. Lawan,” tulis salah satu di media sosial Instagram @xtrememerch.
Amarah yang Menyebar
Dari tragedi tragis itu amarah massa mulai nampak, bahkan menjalar ke mana-mana. Markas Brimob Kwitang digeruduk dan dibakar. Mako Polda Jaya ikut dilempari massa. Fasilitas umum hancur, pos polisi dibakar, bahkan rumah-rumah pejabat legislatif dikepung, dijarah, hingga perabotan dan elektronik diangkut massa.
Inilah wajah situasi lain dari kekecewaan, berubah menjadi neraka dunia—api ada di mana-mana. Sebab ketika rakyat merasa sudah tidak punya saluran aspirasi yang sehat, maka jalanan jadi ruang utama, dan amarah berubah jadi bara yang melalap apa saja.
Jika dihitung mundur, ada benang merah yang menyedihkan. Reformasi 1998 melahirkan demokrasi dengan janji agar rakyat lebih dekat dengan wakilnya. Namun, dua dekade lebih berlalu, jarak itu semakin jauh. Wakil rakyat kini hidup dalam fasilitas mewah, dengan gaji yang terus bertambah, sementara rakyat menonton dari kejauhan dengan dompet yang kian menipis.
Demo 1998 berakhir dengan tumbangnya rezim. Demo 2025 belum tentu menjatuhkan kekuasaan, tapi sudah menelan korban nyawa, merusak fasilitas, dan meninggalkan luka sosial yang dalam.
Pertanyaan Masyarakat yang Timbul
Berdasarkan pantauan di media sosial, pertanyaannya bertubi-tubi muncul lewat komentar: apa arti demokrasi jika suara rakyat selalu ditukar dengan angka-angka di rapat paripurna? Apa gunanya kursi empuk di Senayan jika rakyat di luar pagar hanya dianggap pengganggu lalu lintas?
Kembali ke dasar tragedi memilukan, Affan. Mungkin pemuda satu ini tidak tahu sejarah Reformasi 1998. Affan mungkin hanya tahu, hari itu ia sedang bekerja, lalu takdir membawanya ke tengah demonstrasi.
Meski begitu, benturan baku hantam aparat pengamanan dengan massa dan tragedi menewaskan Affan justru menjadi simbol kekompakan soliditas lahir. Rakyat kecil yang menderita akibat kebijakan elitis, saling merangkul merebut demokrasi yang sebenarnya.
Dan kita sebagai bangsa Indonesia, harus punya keputusan akhir, apakah tragedi Affan akan diingat sebagai kemarahan sesaat, atau sebagai peringatan abadi bahwa wakil rakyat harus kembali menjadi milik rakyat—bukan hanya milik diri dan kelompoknya. (*)
Discussion about this post