BARATNEWS.CO – Malam itu, lokasi Jalan Teuku Umar, Meulaboh, Aceh Barat, berubah menjadi samudra manusia. Puluhan ribu warga berdesak-desakan, seakan kawasan itu menjelma menjadi lautan manusia yang tak bertepi.
Meski desakan terus-menerus, semangat warga tak surut untuk menyaksikan peringatan HUT ke-437 kota Meulaboh pada Sabtu malam (11/10/2025) di depan Lapangan Teuku Umar.
Pantauan Baratnews.co di lokasi, kemacetan memanjang di sepanjang Jalan Teuku Umar, hingga mencapai satu kilometer dari pusat acara. Kendaraan roda empat, sepeda motor, dan becak mesin merayap perlahan menuju lokasi kegiatan.
Sementara itu, lampu sorot warna warni berpadu dengan dentuman musik tradisional dan sorak tawa pengunjung. Aroma aneka kuliner dan kopi robusta khas Aceh ikut menebar di sepanjang jalan, menambah semarak malam penuh bahagia.
Di tengah hiruk pikuk itu, wajah-wajah penuh senyum membuktikan bahwa perayaan ini bukan sekadar pesta tahunan, melainkan ruang kebersamaan yang menyatukan masyarakat dalam semangat yang sama.
Di depan panggung utama, dentuman rapa’i menggema lantang, mengiringi penampilan tari tradisional Aceh. Sorak penonton pun membahana setiap kali syair ca’e dilantunkan—mengisahkan perjuangan Teuku Umar, pahlawan yang lahir di tanah Meulaboh.
Salah satu penonton yang berdiri di lokasi panggung utama, Zulkarnaini (46) seorang kuli bangunan, warga Kecamatan Meureubo, Aceh Barat, memandang keramaian itu dengan mata berbinar.
Kepada Baratnews.co, Zulfikar mengenang masa-masa kelam ketika konflik melanda Aceh. Saat itu, di usia mudanya 25 tahun silam, tepat tahun 2000, ia hampir tak pernah merasakan suasana semeriah ini di Aceh Barat. Sedangkan di usia remaja, ia larut dalam pengajian di pondok pesantren.
“Dulu waktu konflik, suasana begini jarang sekali. Sekarang lihat, semuanya hidup, Meulaboh kembali hangat. Kami berterima kasih kepada Bupati Tarmizi sudah mengadakan acara semeriah ini,” ujarnya lirih, saat didekati wartawan media ini.
Bagi Zulkarnaini, PKAB bukan hanya sekadar ajang hiburan, tetapi napas baru bagi masyarakat untuk bangkit lebih maju setelah masa-masa sulit—konflik berkepanjangan dan tsunami melanda Aceh.
Dengan suara lembut pelan tapi pasti, pria paruh baya itu mengatakan momen ini seperti pertemuan antara masa lalu dan masa depan—ketika budaya, ekonomi, dan harapan tumbuh berpadu dalam satu panggung besar.
“Kami bukan cuma datang nonton dan menyaksikan berbagai pertunjukan di panggung maupun di stan PKAB, tapi merasa ikut jadi bagian dari sejarah kota ini. Yang pasti Meulaboh menyala di malam pekan kebudayaan,” kata Zulkarnaini.
Malam semakin larut, namun tak seorang pun beranjak pulang, sebelum acara selesai.
Di bawah langit Meulaboh yang bertabur cahaya, irama rapa’i dan tawa penonton berpadu menjadi satu lagu besar tentang kebanggaan dan kebersamaan.
HUT ke-437 Kota Meulaboh bukan sekadar perayaan, melainkan pengingat bahwa kota ini masih berdenyut—hidup, hangat, dan selalu muda dalam semangatnya, meski tua dalam angka HUT-nya.
Selain pengunjung PKAB, Nila Rikayanti (31), pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) kentang kriwil dan gorengan “Cemilan Besti MBO”, tampak sibuk melayani pembeli di lapak kecil dagangannya.
Tangan Nila tak henti memasak gorengan, sementara matanya sesekali menatap riuhnya panggung utama.
“Kalau ada acara seperti ini, rezeki kami ikut naik. Biasanya jualan di rumah, tapi di PKAB ramai pembeli dari luar daerah. Ini baru malam pertama, sudah ramai pembelinya,” katanya sambil tersenyum bahagia.
Tampaknya, PKAB tahun ini benar-benar membuka ruang luas bagi pelaku UMKM, seniman, dan komunitas lokal—menandakan geliat ekonomi masyarakat yang kembali tumbuh.
Ratusan stan Satuan Kerja Perangkat Kabupaten (SKPK), pemerintah kecamatan, hingga pelaku UMKM lainnya berjajar rapi menampilkan aneka kuliner, kerajinan tangan, serta produk kreatif khas Aceh Barat.
Malam budaya itu pun sepertinya menegaskan satu hal—Meulaboh tidak hanya tua dalam usia, tapi akan terus muda dalam semangat dan harapan rakyatnya. (*)
Discussion about this post