BANDA ACEH | BARATNEWS CO – Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) Aceh mengeluarkan pernyataan sikap atas perlakuan kasar seorang anggota DPRK Sabang dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) terhadap seorang wartawan yang bertugas di Pulau Weh tersebut.
Anggota Dewan yang dilaporkan melakukan tindakan kasar tersebut bernama Siddik Indra Fajar. Sedangkan wartawan yang mengalami perlakuan kasar bernama Aulia Prasetya yang bekerja untuk media Harian Serambi Indonesia.
Kronologi kejadian
TIndakan kasar yang cenderung tidak menghormati profesi wartawan tersebut dilakukan pelaku dengan menarik kerah baju korban dengan gelagat atau ancang-ancang hendak memukul.
Peristiwa itu terjadi Kamis (4/9/2025) di sebuah kantor redaksi media daring lokal di Sabang.
Apa yang dialami oleh Aulia menambah catatan panjang di mana pejabat negara menjadi salah satu pelaku kekerasan terhadap jurnalis yang diakibatkan karena kerja-kerja jurnalistiknya.
Sebelum kejadian, Aulia ditugaskan oleh kantor tempatnya bekerja untuk melakukan peliputan mendalam berkaitan dengan kasus melompat ke laut seorang penumpang KMP Aceh Hebat 2 belum lama ini.
Salah satu narasumber yang masuk ke dalam daftar penjangkauan Aulia adalah Andi Permadi, selaku chief di kapal tersebut.
Aulia mengontak Andi Permadi pada Kamis (28/8/2025) melalui WhatsApp guna menindaklanjuti kasus penumpang melompat ke laut yang terjadi pada Senin (25/8/2025).
Penumpang tersebut dilaporkan selamat atas pertolongan nelayan setempat.
Aulia mengirim sejumlah pertanyaan, termasuk perihal keamanan kapal karena kasus serupa pernah terjadi sebelumnya.
Namun, Andi tidak segera menjawab pertanyaan Aulia melalui pesan teks. Malah Andi berbasa-basi dengan cara menanyakan kabar dan mengatakan bahwa mereka sudah lama tidak berjumpa.
Andi sempat menelepon Aulia, tetapi tidak diangkat karena Aulia sedang bertemu dengan seseorang.
Sewaktu Andi menelepon untuk kedua kalinya, Aulia mengangkat panggilan telepon tersebut lalu serta-merta menuju ke inti obrolan.
Aulia meminta Andi untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang sebelumnya diajukan oleh Aulia via WhatsApp.
Namun, Andi menjawab bahwa pihak Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) di tingkat pusat telah memberi arahan agar tidak memberi tanggapan atau pernyataan apapun terutama terhadap awak media berkaitan dengan melompatnya penumpang kapal KMP Aceh Hebat 2.
Merasa tidak mendapatkan apapun yang bisa dikutip dari Andi, Aulia pun memutuskan untuk tidak menayangkan berita yang berkaitan dengan sang chief.
Akan tetapi dalam sebuah kesempatan bertemu dengan teman lamanya sesama pelaut, yaitu Siddik Indra Fajar, Andi rupanya menceritakan bahwa dirinya sempat dihubungi oleh wartawan bernama Aulia.
Singkat cerita, sewaktu Aulia berkunjung ke salah satu kantor media daring milik teman seprofesinya, ia didamprat oleh Siddik.
Kader PKS tersebut katanya memang tercatat kerap berkunjung ke tempat tersebut, bersamaan dengan fakta bahwa ia cukup kenal dengan sejumlah pewarta di sana.
Siddik membuka pintu kantor lalu menunjuk muka Aulia. Dengan nada yang tidak menunjukkan itikad seorang yang dikenal atau teman, Siddik pun melontarkan kalimat yang isinya mempertanyakan hak Aulia untuk menggali hingga ke sistem keamanan kapal kepada chief KMP Aceh Hebat 2, Andi Permadi.
Keduanya sempat terlibat adu mulut hingga dibawa ke ruang tengah kantor tersebut. Di sanalah Siddik menarik kerah baju Aulia karena tensi cekcok semakin meninggi.
Karena perlakuan yang dialami oleh Aulia Prasetya berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik, maka kasus ini mesti dilihat sebagai upaya intervensi yang dampaknya akan merusak kebebasan pers.
Kendati pun, perlakuan kasar yang diawali dengan pertanyaan yang isinya terkesan menggugat kerja seorang wartawan yang notabene bekerja untuk menopang kebebasann pers, itu dilakukan dalam tenggat waktu yang terpaut lumayan jauh.
Perlu ditegaskan kembali bahwa konstitusi kita mengatur yang namanya “hak untuk tahu”, yakni hak yang menjamin setiap orang untuk mendapatkan informasi.
Hak publik untuk tahu ini juga merupakan hak asasi manusia yang mesti dijaga keberadaannya sebagai salah satu wujud pengawasan publik terhadap pengelola negara agar tak ada satu kewajiban pun yang luput dari implementasi serta demi garansi negara berjalan tak sewenang-wenang alias sesuai hukum yang berlaku.
Dalam menjalankan tugasnya, jurnalis dilindungi oleh hukum. Jaminan ini dapat dilihat pada pasal 8 UU Pers.
Konsekuensi pasal tersebut, terhadap setiap kerja jurnalistik yang ditempuh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), haram berlaku yang namanya penghalangan, sensor, perampasan peralatan, penahanan, penangkapan, penyanderaan, penganiayaan terlebih lagi pembunuhan.
Pelanggaran atas pasal ini dapat dijerat dengan hukuman pidana maksimal selama dua tahun penjara dan atau membayar denda paling banyak Rp500 juta.
Kendati kasus tindakan kasar anggota DPRK Sabang terhadap wartawan di Sabang berujung damai, dampak dari perbuatan para pejabat publik ini akan tertinggal sebagai preseden buruk dalam penegakan kebebasan pers. Karena itu KKJ Aceh menyatakan:
- Pejabat negara dan stakeholders agar menghormati setiap kerja jurnalistik yang dilakukan oleh jurnalis demi tegaknya kemerdekaan pers sebagai implementasi hak publik untuk tahu supaya penyelenggaraan pemerintahan tidak dilaksanakan dengan sewenang-wenang atau jauh dari pengawasan publik;
- Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Sabang agar memberi sanksi etik terhadap anggota dewan Fraksi Keadilan Sejahtera (PKS) Siddik Indra Fajar karena tindakannya telah mencoreng kebebasan pers serta menodai moral, martabat, kehormatan, citra, juga kredibilitas dewan selaku pejabat negara;
- Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sabang agar menindaklanjuti kasus ini secara internal, dengan cara mengevaluasi serta mendidik setiap kader yang bermasalah;
- Kepolisian agar segera memulai proses hukum, mengingat peristiwa ini merupakan delik umum yang diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
- Pers itu bebas dari tindakan pencegahan, pelarangan, dan atau penekanan agar hak masyarakat dalam memperoleh informasi terjamin: karena itu, seluruh elemen masyarakat agar menghormati setiap kerja jurnalistik yang dilaksanakan berdasarkan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik sebagai penghormatan serta pengakuan terhadap kemerdekaan pers;
- Siapa pun yang merasa keberatan dengan sebuah produk jurnalistik atau pemberitaan, maka dapat menggunakan mekanisme seperti yang telah diatur di dalam UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, yakni dengan menggunakan hak jawab atau hak koreksi;
- Para jurnalis agar senantiasa mematuhi Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme, dan;
- Para jurnalis yang menjadi korban kekerasan agar segera melaporkan setiap bentuk kekerasan yang dialami selama proses peliputan.
Tentang KKJ
KKJ Aceh merupakan bagian dari KKJ Indonesia.
KKJ Aceh dideklarasikan pada 14 September 2024, yang saat ini beranggotakan empat organisasi profesi jurnalis, yakni Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Pengda Aceh, serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) Aceh.
Selanjutnya, tiga organisasi masyarakat sipil, yakni Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, dan Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA).
Pada Juli 2025, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bireuen dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe ikut bergabung. (*)
Discussion about this post